Mengenang Tragedi Idi Cut atau Tragedi Arakundo




Tanyarl.com
- Tragedi Idi Cut atau juga dikenal dengan Tragedi Arakundo terjadi di Simpang Kuala, Kecamatan Idi Cut, Kabupaten Aceh Timur. Tepatnya, Rabu dini hari, 3 Februari 1999, persis di depan Markas Komandan Rayon Militer (Koramil) dan Kantor Polisi Sektor (Polsek) setempat.

Kronologi kejadiannya adalah sebagai berikut menurut kesaksian beberapa warga yang berada di sekitar lokasi, yang dihimpun berdasarkan beberapa situs di internet.

Pada tanggal 2 Februari 1999, warga desa Matang Ulim, Darul Aman, Aceh Timur, bersama-sama menyiapkan pentas kegiatan di lapangan Simpang Kuala, Idi Cut. Sekitar pukul 16.00 WIB, sejumlah tentara datang dengan membawa senjata laras panjang. Penduduk setempat menduga mereka anggota Koramil setempat. Aparat militer tersebut langsung mengobrak-abrik pentas yang sedang dikerjakan serta menganiaya beberapa orang yang saat itu sedang berada di sekitar tempat pembuatan pentas. Meski diserobot, masyarakat kembali melanjutkan persiapan acara. Sebelum acara dimulai pukul 20.30 WIB, massa yang berjumlah sekitar 10.000 orang dan datang dari berbagai daerah sudah berkumpul sejak sore harinya, membanjiri lapangan Simpang Kuala sampai ke pinggiran jalan nasional Medan-Banda Aceh.

Setelah acara selesai keesokan harinya pukul 00:45 WIB, masyarakat pulang dengan berjalan kaki, menggunakan sepeda motor, dan menaiki mobil bak terbuka. Jalur kepulangan mereka melewati kantor Koramil Idi Cut. Saat itu, massa menjadi kacau karena banyak kendaraan yang diberhentikan oleh anggota Koramil. Ada sejumlah laporan yang menyebutkan kerumunan massa awalnya dilempari batu dari arah markas Koramil di Idi Cut. Pukul 01:00, tembakan membabi buta dilepaskan dari arah markas Koramil ke arah kerumunan. Beberapa truk aparat sudah bersiaga di sana.

Setelah gelombang tembakan pertama, terjadi lagi penembakan ke arah massa. Setelah banyak massa berjatuhan, seorang saksi mata mendengar anggota TNI mengatakan, "Kamu yang membunuh tentara, habis semua. Kamu potong leher. Kamu campak ke sungai." Beberapa korban lainnya menyebutkan para pelakunya adalah anggota Batalyon Linud 100. Sebanyak 58 korban yang tertembak dinaikkan ke dalam truk aparat, baik yang sudah tewas maupun yang terluka. Tetapi ada juga beberapa korban terluka yang tidak terangkut karena bersembunyi di selokan samping jalan.

Sekitar pukul 03:00 WIB, banyak saksi mata melihat tiga truk militer yang mengangkut korban penembakan bergerak menuju jembatan Sungai Arakundo. Sebelum diangkut ke truk, para korban diikat terlebih dahulu dengan kawat di sekujur tubuhnya, kemudian dimasukkan ke karung goni milik masing-masing tentara yang masih bertuliskan nama pelaku beserta pangkatnya, contohnya "Sertu Iskandar". Batu besar diikatkan di setiap karung sebagai pemberat, lalu karung tersebut dilemparkan ke Sungai Arakundo. Seorang saksi mata lain mengatakan bahwa ceceran darah di sekitar jembatan Arakundo berusaha ditutup-tutupi dengan pasir oleh tentara. Pasir tersebut adalah hasil penambangan penduduk sekitar sungai yang biasa ditumpuk di dekat jembatan.

Tanggal 4 Februari pukul 08.00-12.00 WIB, tentara masih bertahan di sekitar lokasi pembantaian Idi Cut. Penembakan acak secara membabi buta pun masih terjadi sesekali. Hari itu juga sampai keesokan harinya, penduduk desa melakukan pencarian di sungai dan berhasil mengangkat enam karung berisi jenazah korban. Jasad korban ketujuh yang ditembak mati ditemukan di dalam kendaraannya. Puluhan warga sipil terluka akibat insiden ini. 58 orang ditangkap dan kabarnya disiksa saat ditahan di penjara. Mereka semua dilepaskan tanggal 5 Februari. Tiga orang yang dituduh sebagai penceramah dalam kegiatan di Simpang Kuala sekaligus anggota GAM ditangkap aparat keamanan dan diadili. Pasca-insiden ini, 13 orang dilaporkan hilang dan tidak pernah ditemukan lagi.

Pencarian korban dilakukan dengan alat tradisional, karena tentara dan pihak lainnya tidak membantu melakukan pencarian. Sebagian besar korban tidak mengapung, karena di tubuh mereka diikat alat pemberat berupa batu. Di pinggir jembatan juga ditemukan peluru dan proyektil bermerek Pindad, produsen senjata api asal Bandung yang memasok persenjataan ABRI.

Menurut saksi, jumlah korban luka-luka sangat banyak. Karena tentara memuntahkan peluru ke arah masa secara membabi buta. Tapi, sebagian besar masyarakat yang terluka tidak melapor. Ditambah warga yang malam itu juga diangkut truk ke kantor Kepolisian Resort Kota Langsa untuk diperiksa terkait penyelenggaraan ceramah agama, yang dinilai bermuatan makar: Mengajak warga mendukung Aceh Merdeka. Selain korban luka dan meninggal, sebagian masyarakat juga menderita kerugian harta benda. Saat penembakan, beberapa orang kehilangan sepeda motor.

Kaca mobil dirusak. Serta beberapa kerugian yg bersifat materi dan juga psikis.

Setelah kejadian, masyarakat masih ketakutan. Teror yang dilakukan oleh aparat militer terus berlangsung. Di hari kejadian, mereka masih tetap bertahan di sekitar lokasi pembantaian Idi Cut, sampai siang hari. Bahkan masih terjadi muntahan peluru ke udara.

Kondisi ini disaksikan oleh Sulaiman Ali yang kemudian dibawa ke Kantor Koramil bersama dengan delapan orang lainnya dengan truk. Dua hari kemudian, aparat masih berkeliling di sekitar Idi Cut dengan truk militer yang bertuliskan “Sambar Nyawa” pada kaca mobilnya.

Tindakan kekerasan di Idi Cut diduga sebagai pembalasan dendam terhadap peristiwa sebelumnya, berupa swepping dan penculikan tentara yang dilakukan sejumlah warga sipil yang membawa senjata di Lhok Nibong, Aceh Timur, pada 29 Desember 1998 sampai 3 Januari 1999.

Peristiwa di Lhok Nibong sendiri berujung pada pembunuhan beberapa personel tentara, yang mayatnya juga dibuang ke sungai. Hal itu terbukti dari makian-makian yang dilontarkan para tentara, saat sedang melakukan aksinya.

“Kalian bunuh kawan kami. Kalian ceburkan mereka ke sungai. Rasakan balasannya!”

Pengusutan kasus penembakan brutal ini masih dipertanyakan sampai sekarang. Setiap tanggal 3 Februari biasanya para mahasiswa atau LSM semacam KontraS dan lain lain kerap "mengingatkan" pemerintah akan ketidakjelasan kasus yang merenggut banyak korban ini..